Kamis, 08 April 2010

Asma Bronkhial


Asma telah dikenal sejak dimulainya ilmu kesehatan. Kata asma itu sendiri berasal dari bahasa yunani yang artinya terengah-engah.Definisi yang umum digunakan menyatakan bahwa asma bronkial adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya respon yang berlebihan dari trakea dan bronkus terhadap berbagai macam rangsangan yang mengakibatkan penyempitan saluran nafas yang tersebar diseluruh paru-paru yang derajatnya dapat berubah secara spontan setelah mendapat pengobatan (Sinclair, 1990). Asma bronkial terjadi akibat spasmus otot bronkhus yang disertai serangan sesak nafas akut secara berkala, mudah tersengal-sengal, dan batuk dengan bunyi khas. Ciri lain adalah hipersekresi dahak yang biasanya lebih parah pada malam hari dan meningkatnya ambang rangsang bronkhi terhadap rangsangan alergis maupun non alergis (Guyton, 1987). Obstruksi saluran nafas pada asma umumnya bersifat referbibel dan berlangsung selama beberapa menit hingga beberapa jam.Diantara dua serangan, pasien tidak menunjukkan gejala apapun (Rahardja dan Tan, 2007).

Yang utama secara klinis pada penyakit asma bronkial adalah kesulitan pernapasan yang parah dengan berkurangnya oksigen dalam jaringan. Penyaluran oksigen ke dalam darah menjadi sedemikian lemah sehingga penderita membiru kulitnya (cyanosis). Sebaliknya, pengeluaran nafas dipersulit dengan meningkatnya kadar karbondioksida dalam darah. Akibat spasmus otot polos bronkioli dan bronkhus lebih kecil dan akibat adanya lendir yang kental dalam lumen bronkhus yang menyempit, akan terjadi ekspirasi yang sulit, berdengik, serta diperlambat (Sylvia dan Lorraine, 2006).



Penyebab Penyakit Asma Bronkhial 
Serangan asma disebabkan oleh peradangan steril kronis dari saluran nafas dengan mastcells dan granulosit eosinofil senagai pemeran penting. Pada penderita asma, mastcell bertambah banyak di sel-sel epitel serta mukosa dan melepaskan mediator vasoaktif kuat pula seperti histamin, serotonin, dan bradikinin, yang mencetuskan reaksi asma akut. Prostaglandin dan leukotrien mulai dibentuk untuk dilepaskan kemudian. Diperkirakan bahwa mastcell dapat didegranulasi pula oleh rangsangan aspesifik, misalnya pada hawa dingin plat darah bisa menggumpal dan mengakibatkan terbentuknya IgE atau IgM (Mutschler, 1991).

Disamping itu, terdapat pula hiperreaktifitas bronchi terhadap berbagai stimuli spesifik yang dapat memacu serangan. Stimuli terkenal adalah zat-zat alergen, terutama partikel-partikel tinja dari tungau, pollen, spora jamur (Aspergillus fumigatus), zat-zat perangsang (antara lain asap rokok, uap, debu), begitu pula hawa dingin, emosi, kelelahan, dan infeksi virus (misalnya rhinovirus atau virus parainfluenza), juga obat-obatan tertentu (Guyton, 1987).

Selain itu, kontak dengan zat-zat tertentu (misalnya bahan-bahan kimia) di lingkungan pekerjaan dapat memicu timbulnya asma. Hal itu disebabkan karena zat-zat tersebut dapat menimbulkan antibodi IgE spesifik. Alergen tersebut mula-mula akan menyebabkan sensibilisasi dengan pembentukkan IgE. Pada kontak alergen berikutnya, alergen yang baru masuk akan bereaksi dengan antibodi IgE pada mastosit dan ini akan menyebabkan pembebasan zat mediator.Mediator ini di satu pihak akan menyebabkan penciutan otot polos bronkhus, dipihak lain karena peradangan menyebabkan pembengkakan udem serta diskrini dan hiperkrini, artinya pembentukan terlalu banyak lendir yang kental dan bening (Mutschler, 1991).

Obat-obat asma bronkhial
Obat-obat yang digunakan untuk penyakit asma bronkhial dapat digolongkan sebagai berikut:

Obat bronkhodilator
Obat ini berkhasiat untuk melonggarkan bronkhusyang termasuk obat golongan ini adalah adrenergik, derivat xanthin, dll. Adrenergik merupakan obat terbaik untuk mengurangi serangan penyakit asma yang terjadi secara tiba-tiba dan untuk serangan yang mungkin dipicu oleh olahraga. Yang termasuk ke dalam obat adrenergik misalnya, Adrenalin (Epinefrin), Isopterenol, Salbutamol, Efedrin. Derivat Xanthin yang terdiri dari teofilin (1,3 dimetilxanthin), kafein (1,3,7 trimetilxanthin), dan teobromin (3,7 dimetilxanthin). Obat-obatan ini menyebabkan relaksasi otot polos, terutama otot polos bronchus, merangsang susunan saraf pusat, otot jantung, dan meningkatkan diuresis (Setiawati, 1995).

Obat mukolitikum dan ekspektoransia
Obat mukolitikum adalah obat yang dapat mengencerkan secret saluran nafas dengan cara memecah benang-benang mukoprotein dan mukopolisakarida dari sputum. Contoh: Bromheksin, Asetilsistein, dan Ambroksol (Aditama, 2006). Obat ekspektoransia adalah obat yang merangsang pengeluaran dahak dari saluran nafas. Penggunaan ekspektoran didasarkan pada pengalaman empiris, belum ada data yang membuktikan efektifitas ekspektoran dengan dosis yang umum digunakan.Obat yang termasuk ke dalam golongan ini adalah ammonium klorida dan gliseril gualakolat (Andriani, 1998).

Kortikosteroid
Kortikosteroid menghalangi respon peradangan dan sangat efektif mengurangi gejala penyakit asma. Jika digunakan dalam jangka panjang, secara bertahap kortikosteroid akan menyebabkan berkurangnya kecenderungan terjadinya serangan penyakit asma dengan mengurangi kepekaan saluran udara terhadap sejumlah rangsangan (Aditama, 2006). Steroid yang biasa digunakan adalah hidrokortison atau prednisolone. Hidrokortison mengandung efek mineralkortikoid yang tidak cocok untuk pemberian jangka panjang karena efek samping yang ditimbulkannya sehingga steroid yang umum digunakan adalah prednisolon yang mengandung sedikit mineralkortikoid (Aditama, 2006).

Aditama, Tjandra Yoga. 2006. Pengobatan Asma. http://www.medicastore.com/050706/pengobatan_asma.html
Guyton, Arthur C. 1987. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Mutschler, Ernst. 1991. Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi. Edisi Kelima. Bandung: Institut Teknologi  Bandung.
Rahardja, Kirana dan Tan Hoan Tjay. 2007. Obat-obat Penting. Edisi Keenam. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Setiawati, A. 1995. Adrenergik. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta: Gaya Baru.
Sinclair, C. 1990. Asma. diterjemahkan oleh: Dra. Arum Gayatri. Jakarta: ARCAN.
Sylvia, Price dan Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.